Bingkisanku (untuk NTT)

Tak dapat kubingkiskan hujan
Untuk menanam harapan
Di atas taman impian
Tempat bermain rusa jantan
Dan burung terkukur
Supaya sungai kembali bernyanyi
Dengan lagu selembut embun
Di atas ilalang yang merunduk basah
Dan lonceng gereja yang memanggil
Para petani berdoa Angelus
Dengan bulir padi dan jagung

Sekotak tanah, mungkin
– dengan ulat bulu yang merangkak
hingga jangkrik yang betah mengerik
menggerakkan perut resonansinya
mengikuti bunyi gambus dan seruling
seperti sedang meberi aba-aba
kepada sapi-sapi liar di padang
berlari kepada siang dan malam
mencari tuannya yang pura-pura tak tahu
hilang satu tak pernah dicari –
Akan kubingkiskan

Ah, kitab suci
banyak di sana.
Akan kubingkiskan mesin penghancur kertas
supaya kitab-kitab suci itu lebur
menjadi bijih sesawi
untuk dipetik pada bulan rosario
demi menghitung jumlah Salam Maria
dengan tangan kasar dada hitam mata memerah
tetapi, lumbung membumbung
dan ayam bersahutan
laksana Magnificat
dari tetangga kepada tetangga

Kusertakan sekotak ruang hampa,
manusia telah banyak
binatang berkurang
tanaman mati di ladang
burung berhenti berkicau
sungai mencari air
agar manusia berhenti bicara
gaduhnya,
membuat semua penghuni pergi
dari NTT

Jakarta, 19 Agustus 2015

Apamu, NTT?

Berangusmu
Di wajahku,
Hilang rupaku
Tanpa takdir baik

Pergi tak dapat
Gulita hingga siang
Terbenam
Tak bergerak

Ingin,
Ingin
Meraih
Lebih

Menanti, cuma
Tuan datang
Dengan caci maki
Berebutan

Walau
Berkawan, dalam tulang
Tak tersisa seserat daging pun
Hingga gigi beradu, saling

Ingin,
Ingin
Meraih
Lebih

Keji, cuma
Didapat dalam kelam
Terpendam
Tak bergerak

Apamu, NTT
Apamu, lelaki
Apamu, puan
Apamu, NTT

Jakarta, 19 Agustus 2015

Lima Peristiwa

Lima peristiwa
Di sebuah jalan

Mencari kegembiraan
Di antara penyaliban

Kematian tiap saat
Menjadi tiba

Kebangkitan,
Berharap

Bila hari inirosario
Pada detik tertentu

Bangkit,
Lalu mati

Mati,
Lalu Bangkit

Suka,
Tidak Suka (duka)

Itu Salib.

Lalu, berlarilah
Lima jari

Pada lima peristiwa
Di malam golgota

Mencari Aku Percaya
Menuntut Bapa Kami

Melihat Salam Maria
Mengadu Kemuliaan

“Mengapa kalian tertidur,
Bukankah saat-Ku telah tiba”

“Datanglah padaku,
Ketoklah pintu”

“Hari ini juga,
Kamu akan ada bersama Aku.”

Kereta pagi yg telat,
Depok, 8 Feb 2014

Habis Pulsaku

Kalau sampai satu jam
Tak ada kabar
Kuputuskan:
Tinggalkan dia!

Kendati kabar terakhir,habis pulsa
Tunggu aku
Setengah jam lagi
Aku pasti tiba

Tetapi, tidak juga ada
Sepotong kalimat balasan
Dari pertanyaanku:
Sudah di mana dirimu?

Sejam telah tiba
Aku mendongkol
Sebisa dia memencet, seharusnya
Tak lama: otw

Tiga huruf itu saja
Cukup
Demi menjelaskan
Penantian ini ada akhir

Namun, lima belas menit
Tambahan waktu
Kesalku telah sampai
Meninggalkannya

Dengan sebuah tepukan
Aku menoleh
Dia muncul:
Habis pulsaku!

Jkt, 4 Juni 2013

Suara Presiden

Aku tak bisa mendengar
Suara perempuan
Berteriak tentang jadwal kereta

Seharusnya dia diberi bekal
Cara bicara yg tepat
Pada corong mike

Cuma berisikStasiun-Kereta-Api
Dengan bunyi yg berebutan
Di antara roda besi dan rel kereta

Lalu aku bayangkan
Seorang presiden duduk
Di bangku besi dua, stasiun

Berupaya menyelami
Pesan yang disampaikan perempuan
Dengan telinga penumpang

Dia akan menyadari dengan cepat
Mana suara yg paling dibutuhkan
Untuk didengar: tanpa berisik!

Jkt, 4 Juni 2013

Namanya Effendi

Namanya Effendi,

Seragam putih biru
Berlengan Polda
Menenteng senyum
Sepenggal bahu

Melihat Putri,

Tak kuasasatpam
Menelan diri
Seperti lelaki buntung
Rindu nasib

Namanya Effendi,

Sejauh bayangannya
Peruntungannya
Cuma di pintu
Tiada tempat lain lagi

Melihat Putri,

Langkah mundur
Berasa diri
Seperti pesakitan
Di kurung

Namanya Effendi,

Menculik tawa
Leluasa, menikmati
Tiada cuma wajah tertinggal
Seluruh raga melumat, oleh

Melihat Putri,
Namanya Effendi.

Jkt, 20 Mei 2013

Lima Jari

Lima jari
Satu tangan
lima jari
Jempolmu,
Lakukanlah pujian
Tidak dgn cara
Membunuh
Seperti raja romawi
Kepada lawan para gladiator

Telunjukmu,
Berikanlah petunjuk
Ke arah yang benar
Kepada kaum tersesat
Tidak dengan cara memerintah
Seperti tuan
Kepada pembantunya

Jari tengahmu,
Belajarlah tidak egois
Bertata krama
Karena tanpa keempat jari lainnya
Hidupmu hanyalah
Cacian

Jari manismu,
Pakailah cincin kawinmu
Seperti pada singgasana
Dari janjimu untuk setia
Hingga pembedaanmu
Sebagai species manusia
Tanpa musim kawin acak

Dan kepada kelingking,
Hargailah yang kecil
Karena jika kau berhitung
Dialah yg terakhir
Menggenapi kesempurnaan

Seperti dirimu,
Sempurna

Kecuali kau abaikan
Salah satunya

Kau pun
Cacat

Sempurna

Jkt, 20 Mei 2013