Laura Rosario

Hari ini genap usiamu setahun,
Semenjak ibumu melahirkanmu
Menggenapi tangisan
Dari penderitaan kerak bumi
Terluka oleh sobekan
Seperti sakitnya melahirkan
Sebuah kebaikan

Engkau berawal dari titik
MengendapImage result for siluet bayi perempuan
Menjangkau perut bumi
Oleh dawai musik cinta
Mengiringi ziarah
Burung dan sangkar
Yang menenun
Kicau anak-anak di sangkar

Semenjak ibumu menggapai
Bulir-bulir rosario
Tak henti
Memanggilmu dari perut bumi
Merayumu dari kaki-kaki para malaikat
Menggandengmu,
Dan menenun wajahmu
Dengan untaian Salam Maria

Seperti saudarimu terdahulu,
Magnificat,
Terpujilah Dia,
Yang menyerahkanmu ke pangkuan,
Pada tangan tengadah,
Di antara jemari yang mengepit
Rosario, Salam Maria, Kemuliaan, Terpujilah.

Engkau ada,
Engkau menangis,
Engkau menyusu,
Engkau berjalan.

Dengan namamu,
Tersebut.
Selalu Disebut.
Sampai kapan pun.

Depok, 09/09/17
Pada Hari Ulang Tahun Anak Keduaku, Laura Rosario. Setahun kini usianya.
Selamat Ulang Tahun, Ade.

Kepada Dia Yang Kucintai

Aku ingin mengenang tentang kabut.
Bagaimana rasanya menghela penutup wajahmu,
Hingga tak ada jarak, dan kita bercumbu
—dia, kabut, telah menghalangiku untuk sekian tahun

Aku ingin mengenang tentang lonceng gereja.
Bagaimana rasanya memilikimu dalam sejam, lebih
Seperti usia sebuah misa harian, atau misa hari minggu
—dia, lonceng gereja, mengobati rinduku padamu untuk sekian tahun

Aku ingin mengenang tentang lembar-lembar goresan surat.
Bagaimana rasanya memujamu, untuk menjaga hatimu
Dan memagarimu, di antara beku dan keluh
—dia, goresan surat, menyalakan cahaya hatiku padamu untuk sekian tahun

Pada bait ini, akan kuceritakan
Bahwa kabut, lonceng gereja, dan sepucuk surat
Adalah kisah, yang ingin kukatakan kepada kedua anakku:
Bahwa merekalah sajak,
Tempat aku dan ibu mereka bersatu

Kisah itu, adalah 10 tahun pertama,
Sebelum aku dan ibumu,
Berikrar untuk saling setia
Pada sumpah pernikahan selamanya

Lalu, pada bait ini, aku ingin mengatakan,
Jika, aku dan ibumu ada dalam pertengkaran,
Lalu kalian melihat senyum di antara kami, pada hari-hari berikutnya
Jika, aku dan ibumu ada dalam tangisan,
Lalu kalian melihat relung bahagia, pada hari-hari selanjutnya
Jika, aku dan ibumu ada dalam gelisah,
Lalu kalian melihat secercah harapan, pada hari-hari selanjutnya
Yakinlah, cinta kami begitu kuat
Diikat oleh kabut, lonceng gereja, dan untaian surat

Kisah ini, adalah 10 tahun kedua,
Sesudah aku dan ibumu,
Memiliki kalian
Dan terus berikrar
Untuk saling mencintai
Tanpa melepaskan

Depok, 06/09/2017
Demi Mengenang 10 tahun pernikahan kami
“SHMILY…”

 

Tuhan

Malam ini seperti di pintuMu
Tak perlu mengetuk
Karena semua memanggil namaMu

Kau bahkan tak mau menjawabImage result for Tuhan
Untuk berlaku adil
Kepada peminta-minta

Bila tubuh telah usai
Dan raga beristirahat
DiriMu tumbuh

Bila pikiran di bawah sadar
Dan mata tertutup
DiriMu hidup

Sebab tak ada kegaduhan
Tak pula seratus kata
DiriMu ada

Hingga akhirnya
Hanya diam
Dalam definisiMu

Depok, 23/8/17

(Sebuah malam panjang dengan telpon yang terus berdering, lebih dari 200 percakapan hadir di grup WA Alsemat, yang berbicara tentang Tuhan, dan mereka akhirnya pun lelah menanti jawaban)

Antagonis

Layar indahmu menutup episode kelamku
Tatkala, kepercayaanku pada Tuhan
Berada di tabir sepi
Kau tak pernah menelanjangiku
Dengan tetap memelukku
Hingga, aku punya waktu lagi menata mimikku
Tetapi, mari berkata tanpa munafik
Dan biarkan aku hidup tanpa lipstik
Karena rasa sayangmu, kadang,
Adalah racun bagi kejujuranku
Sehingga, aku dapat terus bersembunyi di balik layarmu

Kalau boleh aku pergi,
Tidak lagi kepada ruang pengakuan, yang
Membabtis aku dengan pengampunanmu, tetapi
Biarkan, aku lari kepada wanita si pendosa
Yang diancam untuk dirajam karena kedapatan berzinah
Seperti yudas, yang mengkhianatimu

Dengan begitu, aku tengah berperan, dalam rencanamu
Sebagai antagonis yang dibutuhkan, dalam
Sejarah keselamatan, walau
Di mata manusia, aku adalah laknat, yang
Mempertegas keindahan abadimu dengan keburukanku, sehingga kau tampak menjadi lebih indah

Aku capek menjadi Petrus, atau Yakobus, atau Yohanes
Karena lebih mudah, berperan
Menjadi kaum antagonis, yang
Tidak juga disisihkan, serta merta
Dari rencana besarmu ke depan, karena
Kau membutuhkan

Depok, 09/01/17

Bingkisanku (untuk NTT)

Tak dapat kubingkiskan hujan
Untuk menanam harapan
Di atas taman impian
Tempat bermain rusa jantan
Dan burung terkukur
Supaya sungai kembali bernyanyi
Dengan lagu selembut embun
Di atas ilalang yang merunduk basah
Dan lonceng gereja yang memanggil
Para petani berdoa Angelus
Dengan bulir padi dan jagung

Sekotak tanah, mungkin
– dengan ulat bulu yang merangkak
hingga jangkrik yang betah mengerik
menggerakkan perut resonansinya
mengikuti bunyi gambus dan seruling
seperti sedang meberi aba-aba
kepada sapi-sapi liar di padang
berlari kepada siang dan malam
mencari tuannya yang pura-pura tak tahu
hilang satu tak pernah dicari –
Akan kubingkiskan

Ah, kitab suci
banyak di sana.
Akan kubingkiskan mesin penghancur kertas
supaya kitab-kitab suci itu lebur
menjadi bijih sesawi
untuk dipetik pada bulan rosario
demi menghitung jumlah Salam Maria
dengan tangan kasar dada hitam mata memerah
tetapi, lumbung membumbung
dan ayam bersahutan
laksana Magnificat
dari tetangga kepada tetangga

Kusertakan sekotak ruang hampa,
manusia telah banyak
binatang berkurang
tanaman mati di ladang
burung berhenti berkicau
sungai mencari air
agar manusia berhenti bicara
gaduhnya,
membuat semua penghuni pergi
dari NTT

Jakarta, 19 Agustus 2015

Apamu, NTT?

Berangusmu
Di wajahku,
Hilang rupaku
Tanpa takdir baik

Pergi tak dapat
Gulita hingga siang
Terbenam
Tak bergerak

Ingin,
Ingin
Meraih
Lebih

Menanti, cuma
Tuan datang
Dengan caci maki
Berebutan

Walau
Berkawan, dalam tulang
Tak tersisa seserat daging pun
Hingga gigi beradu, saling

Ingin,
Ingin
Meraih
Lebih

Keji, cuma
Didapat dalam kelam
Terpendam
Tak bergerak

Apamu, NTT
Apamu, lelaki
Apamu, puan
Apamu, NTT

Jakarta, 19 Agustus 2015

SEBELUM

(Katakanlah Cintamu)

musim hujan seperti tangisan
sejak jantungmu berdetak untukku
tak harus, kau berdiri di sana
membiarkan tubuhmu basah
demi memayungi langkahku

kuingin kau berhenti
melepaskan dingin
namun kau tak pernah jera
memberi tubuhmu
demi memayungi langkahku

aku tahu, kau lelah
sampai nafasmu kadang berhenti
dan kau terbaring lemah
namun kau tak pernah jera
memberi tubuhmu
dengan seluruh tatapan indah yang kau miliki
seperti aku surgamu

berhenti, berhentilah
lihat tangisanmu telah menjadi sungai
dan aku hanyut, seperti yang kau mau
supaya aku dapat pergi
kepada samudera
menjadi lebih,
sesuai kehendak abadimu

Oh…sebelum musim hujan ini benar menjadi beku,
takan pernah ada waktu sedikitpun,
melepaskanmu berdiri, sendiri
di tempat yang bahkan tak mau aku relakan, kau berdiri
mengambil risikomu tanpa berpikir sebabmu menjadi tak berdaya

Oh…sebelum musim hujan ini benar menjadi tangisan,
dan tak pernah ada kemarin
aku selalu tak pernah ingin terlambat
memelukmu,
dan tak mau tertinggal
untuk mengatakan I Love You

 

Special For My Beloved Wife (and all wife)

Jakarta, 16 Januari 2015

Lima Peristiwa

Lima peristiwa
Di sebuah jalan

Mencari kegembiraan
Di antara penyaliban

Kematian tiap saat
Menjadi tiba

Kebangkitan,
Berharap

Bila hari inirosario
Pada detik tertentu

Bangkit,
Lalu mati

Mati,
Lalu Bangkit

Suka,
Tidak Suka (duka)

Itu Salib.

Lalu, berlarilah
Lima jari

Pada lima peristiwa
Di malam golgota

Mencari Aku Percaya
Menuntut Bapa Kami

Melihat Salam Maria
Mengadu Kemuliaan

“Mengapa kalian tertidur,
Bukankah saat-Ku telah tiba”

“Datanglah padaku,
Ketoklah pintu”

“Hari ini juga,
Kamu akan ada bersama Aku.”

Kereta pagi yg telat,
Depok, 8 Feb 2014